( POTONG GIGI )
Oleh :
I PUTU SUMARTANA
KETUT BUDIARTA
KETUT ARTANA MULIADI
IDA AYU GEDE SHINTA VINA DEWI
ANAK AGUNG NOVI PRADNYAWATI
FAKULTAS BRAHMA WIDYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2015
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa karena atas asung kerta wara nugraha-Nyalah penulis dapat
menyelesaikan makalah ini untuku memenuhi tugas mata kuliah Pancasila. Adapun
judul dari makalah ini adalah “MEPANDES / METATAH”.
Makalah ini tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Sehubungan dengan itu, izinkanlah penulis
menyampaikan penghargaan dan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih banyak kekurangannya dan jauh dari sempurna, untuk itu penulis menerima
segala bentuk masukan , sara dan kritikannya demi penyempurnaan makalah ini dan
makalah berikutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
khususnya generasi muda yang sekarang maupun mendatang.
Om Shantih, Shantih,
Shantih, Om.
Denpasar, Januari
2015
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar...................................................................................................... i
Daftar
isi................................................................................................................ ii
BAB
I PENDAHULUAN................................................................................... 1
I.I. Latar Belakang................................................................................. 1
I.II. Rumusan Masalah............................................................................ 3
I.III. Tujuan.............................................................................................. 3
I.IV. Manfaat............................................................................................ 3
BAB
II PEMBAHASAN .................................................................................... 4
II.I. Pengertian
dan Makna Upacara Mepandes...................................... 4
II.II. Tujuan Pelaksanaan Mepandes........................................................ 7
II.III. Rangkaian
Upacara Mepandes......................................................... 8
II.IV. Lambang Dan Makna Terkandung Dalam Unsur Upacara.............. 14
II.V. Upacara
Mepandes Untuk Sawa...................................................... 14
II.VI. Beberapa
Mantra Dalam Upacara Mepandes................................... 15
II.VI. Mitologi
Upacara Mepandes............................................................ 16
BAB
III PENUTUP............................................................................................. 21
SIMPULAN...................................................................................................21
SARAN..........................................................................................................21
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................... 22
BAB I
PENDAHULUAN
I.I.
Latar Belakang
Upacara
adalah lapisan paling luar dari Agama, karena upacara merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari suatu kesatauan agama secara utuh. Secara etimologi kata
upacara berasal dari kata Sansekerta yaitu “Upa” (dekat) dan “Cara” (jalan).
Jadi Upacara berarti jalan untuk mendekatkan diri / jalan untuk melaksanakan
upacara dalam upaya untuk menghubungkan diri dengan Hyang Widhi / Tuhan Yang
Maha Esa, yang dilakukan dengan sungguh-sungguh atas dasar ketulus ikhlasan. Tiga
aspek yang menjadi dasar pelaksanaan upacara yaitu 3 kerangka Dasar Agama Hindu
adalah, Tattwa (Filsafat), Susila (Etika), Upakara (Upacara). Upacara Yadnya merupakan koraban suci yang tulus
iklas serta langkah yang diyakini sebagai kegiatan beragama Hindu yang amat
penting. Yadnya juga merupakan perputaran kehidupan yang dalam Bhagawad-Gita
disebutkan Cakra Yadnya. Apa bila cakra Yadnya ini tidak berpur maka kehidupan
ini akan mengalami kehancuran.
Adapun
bagian-bagian dari Yadnya yaitu: Dewa Yadnya yaitu: Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya,
Pitra Yadnya, dan Manusa Yadnya. Dimasing-masing Yadnya yang diselenggarakan
sudah barang tentu upakara atau bantennya berbeda-beda sesuai dengan Yadnya
yang diseleggarakan.
Mepandes
(potong gigi) merupaan salah satu contoh upacara manusa yadnya. Dalam makalah
ini penulis akan membahas tentang upacara Mepandes, karena upacara
ini perlu diketahui. Karena setiap yadnya memang saranannya banten namun banten
yang digunakan itu tidak sama sesuia dengan jenis upacara yang dilaksankan.Salah
satu yang harus dilalui adalah Upacara Potong Gigi atau Metatah / Mesangih
dalam Bahasa Bali. Upacara Metatah merupakan salah satu ritual yang terpenting
bagi setiap individu orang Bali yang menganut agama Hindu Bali. Rupanya dari
kata masangih, yakni mengkilapkan gigi yang telah diratakan, muncul istilah
mapandes, sebagai bentuk kata halus (singgih) dari kata masangih tersebut.Bila
kita mengkaji lebih jauh, upacāra Mapandes dengan berbagai istilah atau nama
seperti tersebut di atas, merupakan upacāra Śarīra Saṁskara, yakni menyucikan
diri pribadi seseorang, guna dapat lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang
Maha Esa, Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur. Adapun dasar yang melatar
belakangi manusia bhakti dan mendekatkan diri kehadapan Tuhannya ada disebutkan
pada kitab-kitab suci.
Saha
yajnah prajah srstva
Puruvaca
prajapatih,
Anena
prasavisyadhyam
Esa
vo stv ista kma dhuk. (Bhagavadgita III.10)
Artinya:Sesungguhnya sejak dahulu
dikatakan, Tuhan setelah menciptakan manusia melalui Yadnya, berkata; dengan
(cara) ini engkau akan berkembang, sebagimana sapi perah yang memenuhi
keinginanmu (sendiri).
Devan
bhavayatanena
Te
deva bhavayantu vah
Parasparam
bhavayantah
Sreyah
param avapsyatha. (Bhagavadgita III.11)
Artinya:Adanya para Dewa adalah karena
ini, semoga mereka menjadikan engkau demikian, dengan saling member engkau akan
memperoleh kebajikan paling utama.
Abdir
gatrani suddhyanti
Manah
satyena suddhyanti,
Vidyatapobhyam
bhutatma
Buddhir
jnanena suddhyanti. (Menawa Dharmasastra Bab V.109)
Artinya:Tubuh dibersihkan dengan air,
pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia dengan pelajaran suci dan tapa
bratha, kecerdasan dengan pengetahuan benar.
Berdasarkan
pengertian upacāra Mapandes seperti tersebut di atas, dapatlah dipahami bahwa
upacāra ini merupakan upacāra Vidhi-vidhana yang sangat penting bagi kehidupan
umat Hindu, yakni mengentaskan segala jenis
kekotoran dalam diri pribadi, melenyapkan sifat-sifat angkara murka, Sadripu
(enam musuh dalam diri pribadi manusia) dan sifat-sifat keraksasaan atau
Asuri-Sampad lainnya.
I.II.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dan makna upacara
mepandes (potong gigi)?
2. Apa tujuan pelaksanaan upacara mepandes
(potong gigi)?
3. Bagaimana rangkaian upacara mepandes (potong gigi)?
4. Bagaimana metologi upacara mepandes (potong gigi)?
I.III.
Tujuan Penulisan
Setiap penulisan tentunnya memiliki tujuan, adapun
tujuan umum yang ingin dicapai, yaitu dengan mempelajari Manusa Yadnya
khususnya upacara Mepandes (Potong Gigi), sangat berguna nantinya di
imfelemntasikan dalam kehidupan di masyrakat.
I.IV.
Tujuan Khusus
1. Ingin mengetaui pengertian dan makna upacara
mepandes (potong gigi).
2. Ingin mengetaui tujuan
pelaksanaan upacara mepandes (potong gigi).
3. Ingin mengetaui rangkaian upacara mepandes (potong
gigi).
4. Ingin mengetaui metologi upacara mepandes (potong
gigi).
BAB II
PEMBAHASAN
II.I.
Pengertian dan Makna Upacara Mepandes
Adapun sastra suci yang melandasi pelaksanaan upacara
mepandes antara lain disebutkan dalam:
a.
Lontar Kalapati
b.
Lontar Kala Tattwa
c.
Lontar Smaradhana
Dalam Lontar kalapati disebutkan bahwa
potong gigi sebagai tanda perubahan status seseorang menjadi manusia sejati
yaitu manusia yang berbudi dan suci sehingga kelak di kemudian hari bila
meniggal dunia sang roh dapat bertemu dengan para leluhur di sorga Loka. Lontar
Kala tattwa menyebutkan bahwa Bathara Kala sebagai putra Dewa Siwa dengan Dewi
Uma tidak bisa bertemu dengan ayahnya di sorga sebelum taringnya dipotong.Oleh
karena itu, manusia hendaknya menuruti jejak Bathara kala agar rohnya dapat
bertemu dengan roh leluhur di sorga.dalam lontar Semaradhana disebutkan bahwa
Bethara Gana sebagai putra Dewa Siwa yang lain dapat mengalahkan raksasa
NIlarudraka yang menyerang sorgaloka dengan menggunakan potongan taringnya.
A. Pengertian Mepandes
Dalam bahasa Bali di sebutkan dengan istilah “Nandes”
dengan mendapatkan awalaan “me” yang akhirnya mepandes. Nandes sama artinya
dengan tekan atau menekan sehingga menjadi mepandes yaitu: menekan. Bukan hanya
menekan akan tetapi dilanjutkan dengan mengasah sehingga menjadi rata dan
rapi. Di dalam Lontar Dharma Kahuripan,
Ekapratama, dan lontar Puja Kalapati. Sampai kini ada tiga istilah di Bali yang
lazimnya digunakan untuk menyebut Upacara Potong Gigi ; “matatah”, “mepandas”,
“mesangih”. Kata “ atatah” berarti pahat.
Kata Mesangih adalah bahasa Bali biasa dan Bali
halusnya disebut Mepandes.Upacara
potong gigi merupakan merupakan salah satu bagian dari upacara Manusa-Yadnya
yang patut untuk dilaksanakan oleh umat Hindu. Upacara ini bermakna
menghilangkan kotoran diri (nyupat) sehingga menemukan hakekat manusia sejati
dan terlepas dari belenggu kegelapan dari pengaruh Sad Ripu dalam diri
manusia.Lontar Atmaprasangsa menyebutkan bahwa, apabila tidak melakukan upacara
potong gigi maka ronya akan mendapat hukuman dari betara Yamadipati di dalam
neraka (Kawah Candragomuka ) yaitu mengigit pangkal bambu petung. Terlaksananya
upacara ini merupakan kewajiban orang tua terhadap anaknya, sehingga anaknya
menjadi manusia sejati yang di sebut dengan Dharmaning
Darma-Rena Ring Putra.
Maka
itulah orang tua di kalangan umat Hindu berusaha semasa hidupnya menunaikan
kewajiban terhadap anaknya dengan melaksanakan upacara potong gigi. Guna
membalas jasa Orang tuanya maka anak berkewajiban upacara Pitra Yadnya atau
Ngaben saat orang tuanya meninggal dunia. Berbakti kepada orang tuanya sesuai
ajara Putra Sesana.
B. Makna upacara mepandes
1.
Adapaun makna yang dikandung dalam upaca mapandes ini adalah: Sebagai simbolis
meningkatnya seorang anak menjadi dewasa, yakni manusia yang telah mendapatkan pencerahan, sesuai dengan makna
kata dewasa, dari kata devaṣya yang artinya milik dewa atau dewata. Seorang
telah dewasa mengandung makna telah memiliki sifat dewata (Daivi sampad)
seperti diamanatkan dalam kitab suci Bhagavadgita.
2.
Memenuhi kewajiban orang tua, ibu-bapa, karena telah memperoleh kesempatan
untuk beryajna, menumbuh-kembangkan keperibadian seorang anak, sehingga anak
tersebut mencapai kedewasaan, mengetahui makna dan hakekat penjelmaan sebagai
umat manusia.
3.
Secara spiritual, seseorang yang telah disucikan akan lebih mudah
menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur, kelak bila
yang bersangkutan meninggal dunia, Atma yang bersangkutan akan bertemu dengan
leluhurnya di alam Piṭṛa (Pitraloka).
4.
Magumi Padangan. Upacara ini disebut juga Masakapan Kapawon dan dilaksanakan
di dapur, mengandung makna bahwa tugas pertama seseorang yang sudah dewasa dan
siap berumah tangga adalah mengurus masalah dapur (logistik). Seseorang diminta
bertanggung jawab untuk kelangsungan hidup keluarga di kemudian hari, melalui
permohonan waranugraha dari Sang Hyang Agni (Brahma) yang disimboliskan
bersthana di dapur
5.
Ngekeb. Upacara ini dilakukan di meten atau di gedong, mengandung makna
pelaksanaan Brata, yakni janji untuk mengendalikan diri dari berbagai dorongan
dan godaan nafsu, terutama dorongan negatif yang disimboliskan dengan Sadripu,
yakni enam musuh pada diri pribadi manusia berupa loba, emosi, nafsu seks dan
sebagainya.
6.
Mabhyakala. Upacara ini dilakukan di halaman rumah, di depan meten atau
gedong, mengandung makna membersihkan diri pribadi dari unsur-unsur Bhuta Kala,
yakni sifat jahat yang muncul dari dalam maupun karena pengaruh dari luar
(lingkungan pergaulan). Upacara ini juga disebut Mabhyakawon yang artinya
melenyap kotoran batin dan di India disebut Prayascitta, menyucikan diri pribadi.
7.
Persaksian dan persembahyangan ke Pamarajan. Upacara ini mengandung makna
untuk:
8.
Memohon wara nugraha Hyang Guru dan leluhur (kawitan) bahwa pada hari itu
keluarga yang bersangkutan menyelenggarakan upacara potong gigi.
9.
Menyembah ibu-bapa, sebagai perwujudan dan kelanjutan tradisi Veda, seorang
anak wajib bersujud kepada orang tuanya, karena orang tua juga merupakan
perwujudan dewata (matri devobhava, pitridevobhava), juga sebagai wujud bhakti
kepada Sang Hyang Uma dan Siva, sebagai ibu-bapa yang tertinggi dan yang
sejati.
10. Ngayab Caru Ayam Putih, simbolis sifat keraksasaan
dinetralkan dan berkembangnya sifat-sifat kedewataan.
11. Memohon Tirtha, sebagai simbolis memohon kesejahtraan,
kabahagiaan dan keabadiaan.
12. Ngrajah gigi, menulis gigi dengan aksara suci simbolis
sesungguhnya Hyang Widhilah yang membimbing kehidupan ini melalui ajaran suci
yang diturunkan-Nya, sehingga prilaku umat manusia menjadi suci, lahir dan
batin.
13. Pemahatan taring, simbolis Sang Hyang Widhi Siva) yang
telah menganugrahkan kelancaran upacara ini seperti simbolik Sang Hyang Siva
memotong taring putra-Nya, yakni Bhatara Kala.
Demikianlah
sepintas makna yang terkandung dari rangkaian upacara Mapandes, yang tidak lain
guna membimbing umat manusia lebih meningkatkan Sraddha dan Bhaktinya kepada
Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur.
II.II.
Tujuan Pelaksanaan
Mepandes
Adapun tujuan dari
upacāra Mapandes dapat dirujuk pada sebuah lontar bernama Puja Kalapati yang
mengandung makna penyucian seorang anak saat akil balig menujuke alam dewasa,
sehingga dapat memahami hakekat penjelmaannya sebagai manusia. Berdasarkan
keterangan dalam lontar Pujakalapati dan juga Ātmaprasangsa, maka upacāra
Mapandes mengandung tujuan, sebagai berikut:
1)
Melenyapkan kotoran dan cemar pada diri pribadi
seorang anak yang menuju tingkat kedewasaan. Kotoran dan cemar tersebut berupa
sifat negatif yang digambarkan sebagai sifat Bhūta, Kāla, Pisaca, Raksasa dan
Sadripu(enam musuh dalam diri manusia). Sad ripu meliputi Kama (hawa nafsu),
Loba (rakus), Krodha (marah), Mada (mabuk), Moha (bingung), dan Matsarya (iri
hati). Maka kewajiban setiap orang tua untuk menasehati anak-anaknya serta
memohon kepada Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari pengaruh sad ripu.
Makna yang tersirat dari mitologi Kala Pati, kala Tattwa, dan Semaradhana.Dalam
pergaulan muda- mudi pun diatur agar tidak melewati batas kesusilaan seperti
yang tersirat dari lontar Semaradhana.
2) Dengan kesucian diri,
seseorang dapat lebih mendekatkan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa, para
dewata dan leluhur. Singkatnya seseorang akan dapat meningkatkan Śraddhā dan
Bhakti kepada-Nya.
3) Menghindarkan diri
dari kepapaan, berupa hukuman neraka dikemudian hari bila mampu meningkatkan
kesucian pribadi.
4) Merupakan kewajiban
orang tua (ibu-bapa) yang telah mendapat kesempatan dan kepercayaan untuk
menumbuh-kembangkan kepribadian seorang anak. Kewajiban ini merupakan Yajña
dalam pengertian yang luas menanamkan pendidikan budhi pekerti, menanamkan nilai-nilai
moralitas agama sehingga seseorang anak benar-benar menjadi seorang anak yang
suputra/ baik.
Dalam lontar
Pujakalapati dinyatakan, seseorang yang tidak melakukan upacāra Mapandes, tidak
akan dapat bertemu dengan roh leluhurnya yang telah suci, demikian pula dalam
Ātmaprasangsa dinyatakan roh mereka yang tidak melaksanakan upacāra potong gigi
mendapat hukuman dari dewa Yāma (Yāmādhipati) berupa tugas untuk menggigit
pangkal bambu petung yang keras di alam neraka (Tambragomuka), dan bila kita
hubungkan dengan kitab Kālatattwa, Bhatāra Kāla tidak dapat menghadap dewa bila
belum keempat gigi seri dan 2 taring rahang bagian atasnya belum dipanggur.
Demikian pula dalam kitab Smaradahana, putra Sang Hyang Śiva, yakni Bhatāra Gaṇa,
Gaṇeśa atau Gaṇapati belum mampu mengalahkan musuhnya raksasa Nilarudraka,
sebelum salah satu taringnya patah.
II.III. Rangkaian Upacara Mepandes
Upacara ini dapat dijadikan satu dengan upacara
meningkat dewasa, dan mapetik, dan penambahan upakaranya tidaklah begitu
banyak. Seluruh rangkain upacara yang diawali dengan persiapan, pelaksanaan dan
diakhiri dengan pejaya-jaya sebagai penutup. Secara upacara di awali dari
pembersihan diri anak dari pengaruh negatif bhutakala
selanjutnya dilakukan pengekeban dan dilanjutkan dengan merajah, naik kebalai
penatahan turun mengijak peras , muspa bersama dan berakhir dengan mejaya-jaya.
A. Persiapan Yang Harus Dilakukan Upacara Mepandes
1.
Persiapakan tempat untuk potong gigi, yang dibuat seperti tempat upacara
manusa yadnya, dilengkapi dengan kasur, bantal, tikar bergamar smara-ratih atau
dengan alas yang sejenisnya.
2.
Bale Gading : Bale gading ini dibuat dari bambu gading (yang lain) dihiasi
dengan bunga-bunga yang berwarna putih dan kuning, serta di dalamnya diisi
banten peras, ajuman, daksina, canang buratwangi, canang sari dengan raka-raka
: kekiping, pisang mas, nyahnyah gula kelapa dan periyuk/ sangku berisi air
serta bunga 11 jenis. Bale gading adalah sebagai tempat Sanghyang Semara-Ratih.
3.
Kelapa gading yang dikasturi, airnya dibuang dan ditulis “Ardanareswari”
(gambar Semara Ratih). Kelapa gading ini akan dipakai sebagai tempat “ludah”
dan “singgang-gigi” yang sudah dipakai. Setelah upacara, kelapa gading ini
dipendam di tempat yang biasa untuk maksud tersebut.
4.
Untuk singgang gigi (pedangal), adalah tiga potong cabang dadap dan tiga
potong tebu malem/ tebu ratu. Panjang pedangal ini kira-kira 1cm atau 1
setengah cm.
5.
“Pengilap” yaitu sebuah cincin bermata mirah.
6.
Untuk pengurip-urip, adalah empu kunir (inan kunyit) yang dikupas sampai
bersih, dan kapur.
7.
Sebuah bokor yang berisi : kikir, cermin dan pahat. (Biasanya “pengilap”
yang tersebut di atas ditaruh pada bokor ini, demikian pula pengurip-urip” nya.
8.
Sebuah tempat sirih lengkap dengan sirih lekesan, tembakau, pinang, dan
gambir (di dalam lekesan itu sudah berisi kapur).
9.
Rurub berupa kain yang dipakai menutupi badan pada waktu upacara,
diharapkan kain yang dipakai adalh kain baru (sukla), dan sanggih adalaah rurub
putih kuning bertulis rerajahan Semara-Ratih.
10. Banten “tetingkeb” yang akan diinjak waktu turun nanti
(dapat diganti dengan segehan agung).
11. Bokor berisi bunga dan kuwangen, kelengkapan untuk
muspa saat baru naik dan akan mulai mepandes.
B. Persiapan Banten
1.
Banten/upakara yang paling kecilBanten pabyakalaan, prayascita,
pengelukatan, dan tataban seadanya.
2.
Banten/upakara yang lebih besar seperti diatas, tetapi tatabannya memakai
pulagembal.
C. Banten untuk sanggih, sekaa gender, dan kidung
·
Pejati
·
Satu soroh banten suci
·
Peras, Sodan ditambah tipat
·
Canang dan sesari
·
Satu helai kampuh yang telah memakai tepi, biasanya kampuh kuning.
·
Arak, berem, tirta, panasta dan pengasepan.
D. Tata Cara Pelaksanaan Upacara Mepandes.
Seperti biasa
dilakukan upacara mabyakala dan maprayascita, lalu bersembahyang kehadapan Bhatara
Surya, dan Sang Hyang Semara Ratih. Acara dilanjutkan dengan upacara
Pengekeban, yang selanjutnya orang yang akan diupaacarai naik balai tempt
upacara Mepandes (potong gigi). Serta duduk menghadap ke hulu (ke luanan).Sangging yang juga memiliki kekuatan
supranatural ini lalu mengeluarkan sebuah cincin merah delima dan menuliskan
rajahan"Ongkara". Pimpinan upacara mengambil cincin yang akan
dipakai untuk nga- “rajah” pada beberapa tempat yaitu :Pada dahi (antara kedua
kening), pada taring sebelah kanan, pada gigi atas, pada gigi bawah, pada lidah
bawah, pada dada, pada nabi puser, paha kanan dan kiri.
Penulisan
“Rerajahan” tersebut sesuai dengan pilihan pimpinan upacara (Sangging) yang
memimpin upacara Metatah tersebut. Setelah itu diperciki “tirtha pesangihan”,
kemudian ditidurkan menengadah, ditutupi dengan kain/ rurub dan selanjutnya
acara dipimpin oleh “sangging” yaitu orang yang bisa melaksanakan hal tersebut.
Tiap kali “pedangal” diganti; Ludah serta pedangal yang sudah dipakai dibuang
ke dalam “kelungah” kelapa gading. Bila dianggap sudah cukup rata, lalu diberi
pengurip-urip (kunir), kemudian berkumur dengan air cendana, selanjutnya makan
sirih (ludahnya ditelan tiga kali), dan sisanya dibuang ke dalam kelapa gading.
Sore hari (setelah berganti pakaian) dilaksanakan acara natab/ ngayab dipimpin
oleh sulinggih atau orang yang wajar untuk maksud tersebut.
Setelah selasai
merajah kemudian dilanjutkan dengan prosesi yang selanjutnya. Diantaranya:
1.
Pendeta atau orang yang terhormat dalam upacara ini minta restu di tempat
suci, lalu anak anak atau remaja yang akan melaksanakan potong gigi dipercikan
air suci/tirta, setelah itu mereka memohon keselamatan untuk melaksanakan
upacara.
2.
Pendeta melakukan potong rambut dan menuliskan lambang lambang suci
dengan tujuan mensucikan diri serta menandai adanya peningkatan status sebagai
manusia, untuk meninggalkan masa kanak kanak ke masa remaja.
3.
Anak-anak yang akan di potong giginya naik ke bale tempat pelaksaaan Mepandes dengan
terlebih dahulu menginjak sesajen yang telah disediakan sebagai simbol mohon
kekuatan kepada Sang Hyang Widhi Wasa.
4.
Setelah pemotongan gigi berlangsung, bekas air kumur kumur dibuang di
dalam buah kelapa gading, ini bertujuan agar tidak mengurangi nilai
kebersihan dan kesakralan dalam menjalankan upacara ini.
5.
Lalu dilanjutkan dengan melakukan penyucian diri oleh pendeta agar
dapat menghilangkan bala/kesialan untuk menyongsong kehidupan masa remaja.
6.
Melaksanakan Mapedamel yang bertujuan sebagai simbol restu
dari Dewa Semara dan Dewi Ratih agar dalam kehidupan masa
remaja dan seterusnya menjadi orang yang bijaksana, dalam mengarungi kehidupan di
masa datang. Di saat melakukan upacara ini anak anak mengenakan kain putih dan
kuning, memakai benang pawitraberwarna tridatu (merah, putih dan
hitam) sebagai simbol pengikat diri terhadap norma agama, kemudian anak yang
dipotong giginya mencicipi 6 rasa (pahit, asam, pedas, sepat, asin dan
manis) yang mempunyai arti dan makna makna tertentu.
7.
Setelah proses mapedamel dilakukan, dilanjutkan dengan
upacara Natab Banten, yang bertujuan memohon anugerah kepada Hyang Widhi
agar apa yang menjadi tujuan dapat tercapai.
8.
Setelah proses upacara tersebut dilakukan dilanjutkan dengan Metapak,
tujuan adalah memberitahukan kepada anaknya bahwa kewajiban sebagai orang tua
dari melahirkan, mengasuh dan membimbing sudah selesai, diharapkan sang
anak kelak setelah upacara ini menjadi orang yang berguna.
Prosesi potong gigi hanya merupakan simbolisasi saja.
Gigi yang ada bukan dipotong tetapi diratakan dengan menggunakan kikir. Ada 6
gigi atas yang diratakan, termasuk gigi taring, ke 6 gigi inilah yang
melambangkan Sad Ripu.Metatah biasanya juga dijaga ketat oleh beberapa orang
anggota keluarga dan juga yang memiliki kekuatan supranatural.Tak jarang pula
terdengar kabar orang yang ditatah menjadi sakit, giginya rontok bahkan ada
yang sampai meninggal dunia. Oleh karena itu upacara metatah tak pernah
dilakukan hingga sang surya berada di puncak langit. Adapun pantangan dalam
upacara mepandes yaitu : Ibu-Ibu/Wanita yang sedang hamil tidak dibolehkan
melakukan upacara potong gigi/ mepandes. Dasar acuannya: Lontar Catur Cuntaka.
1. Mepandes adalah suatu
upacara yang menyebabkan diri cuntaka.Lamanya cuntaka, saat dia naik ke bale
petatahan, selama metatah, dan sampai selesai, diakhiri dengan mabeakala.
Setelah mabeakala barulah cuntakanya hilang. Prosesi itu memakan waktu antara 1-2
jam. Walaupun masa cuntaka itu singkat, tetap saja Ibu itu kena cuntaka.
2. Bayi atau jabang bayi
yang ada dalam kandungan adalah roh suci yang patut dihormati, dipuja atas
perkenan Sanghyang Widhi yang “mengijinkan” roh itu menjelma kembali menjadi
manusia (walaupun masih berupa janin).
Jadi Ibu yang
mengandung bayi yang suci, patut dihindarkan dari penyebab-penyebab cuntaka.
Tidak hanya potong gigi saja, tetapi juga semua jenis cuntaka, misalnya:
ngelayat orang mati, mengunjungi penganten (pawiwahan), memegang orang-orang
sakit (sakit gede – lepra, aids dll).Jadi demi keselamatan Ibu dan Bayi,
sebaiknya upacara potong gigi itu ditunda sampai bayinya lahir dan sudah
berusia lebih dari 3 bulan.Pantangan-pantangan Yang Dihindari :
·
Tidak boleh makan atau minum sekehendaknya
selama 3 hari. Makan dan minum panas atau dingin merupakan pantangan yang utama
setelah melakukan upacara poyong gigi. Karena apabila makan dan minum yang
panas atau dingin maka akan merusak gigi.
·
Tutur kata tidak boleh menjelek-jelekkan orang
lain.
·
Sebelum dan sesudah melaksanakan upacara potong
gigi tidak boleh meninggalkan rumah sekehendaknya. selama 3 hari.
·
Waktu tidur dan makan di atur oleh orang tua
setelah mendapat penjelasan sebelumnya dari pendeta yang memimpin upacara
tersebut.
·
Waktu mandipun diatur
·
Tidak diperkenankan membunuh binatang, tidak
boleh berkelahi atau mencaci maki orang lain.
II.IV.
Lambang
Dan Makna Terkandung Dalam Unsur Upacara
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa ada beberapa
perlengkapan upacara yang digunakan yaitu seperangkat sirih pinang, seperangkat
piring adat, sebentuk emas, telur ayam, daging kelapa, gula merah, dan daun
pacar. Alat perlengkapan ini melambangkan antara lain:
·
Sirih pinang dan piring adat merupakan sesuatu
yang harus dimuliakan pada suku bangsa Pamona pada setiap upacara tradisional
sebab kedua perangkat alat ini melambangkan kesucian, kemuliaan, dan
penghormatan kepada leluhurnya.
·
Telur ayam melambangkan supaya mempunyai
keturunan yang banyak seperti ayam.
·
Daging kelapa melambangkan supaya hati mereka
lemah lembut seperti daging kelapa tersebut.
·
Gula merah melambangkan supaya mempunyai masa
depan yang manis seperti gula. Artinya agar dalam menjalani hidupnya kelak
senantiasa mendapat kesenangan dan kedamaian hidup.
·
Daun pacar melambangkan agar mereka kelak mudah
mendapat jodoh yang baik.
Bagi seseorang yang belum sempat mengikuti upacāra
Mapandes, dan maut telah menjemput, berbagai tanggapan muncul, terhadap keadaan
ini, Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat
II.V.
Upacara Mepandes Untuk Sawa
Suatu kenyataan terkadang ada dan terjadi di kehidupan
masyarakat adalah belum semapatnya terlaksana upacara potong gigi
pada anak. Atas kejadian ini, jelas sebagai suatu bhakti akan adanya upacara
mepandes (potong gigi) tidak tertutup kemungkinan akan terlaksana setelah
meninggal dunia (jenazah). Akan tetapi tiada dibenarkan pula potong gigi pada
sawa. Upacara mepandes (potong gigi) itu bisa dilakukan untuk sawa (jenazah)
hanya saja ketentunanya harus ditaati, yaitu tiada melakukan sebagaimana
upacara potong gigi paada manusia hidup yaitu hingga mengasahnya. Akan tetapi
cukup hingga mepandes saja dengan selanjutnya dilakukan seolah mengasah
(mengoles) hanya saja menggunakan bunga teratai putih yang masih kuncup.
II.VI. Beberapa Mantra Dalam Upacara Mepandes
·
Mantra Kikir :
OM Sang Perigi Manik, aja sira geger lunga, antinen
kakang nira Sri Kanaka teka kekeh pageh, tan katekaning lara wigena, teka
awet-awet-awet.
Artinya : Om
Hyang Widhi Wasa Semoga alat-alat ini dapat memberikan kekuatan.
·
Mantram Pengurip-urip :
OM
urip-uriping bhayu,Sabda, idep, teka urip, Ang Ah.
Artinya:
Om Sang Hyang Widhi Wasa Dalam wujud Brahma Maha
Sakti, semoga tenaga, ucapan dan pikiran hamba memberikan kekuatan terhadap
alat-alat ini.
·
Mantra Lekesan :
OM suruh mara, jambe mara, timiba pwa sira ring lidah,
Sang Hyang Bumi Ratih ngaranira, tumiba pwa sira ring hati, Kunci Pepet
arannira, katemu-temu delaha, samangkana lawan tembe, metu pwa sira ring
wewadonan Sang Hyang Sumarasa arannira, wastu kedep mantranku.
·
Mantra Prayascita dan Bhyakala :
Om Hrim, Srim, Mam, Sam, Warn, Sarwa rogha satru winasa ya hrah phat.
Om Hrim. Srim. Am. Tam. Sam. Bam. Im, sarwa danda mala papa klesa, winasaya
hrah, hum, phat.Om Hrim, Srim, Am, Um, Mam, Sarwa papa petaka winasaya hrah,
hum phat,Om Siddhir guru shrom, Sarwasat.Om sarwa wighna winasaya, sarwa papa
winasaya namah swaha.
Artinya :Om
Hyang Widhi Wasa, semoga semua musuh yang berupa penderitaan, kesengsaraan,
bencana dan lain-lain menjadi sirna.
·
Mantra Pemotongan Gigi Pertama :
OM lungha ayu,Teka ayu (3 kali).
·
Mantram Mejaya-jaya :
Om Dirgayur Astu tat astu,Om Subham astu tat astu,Om Sukham bhawantu,Om
Purnam bhawantu,Om Sreyam bhawantu,Om Sapta wrddhin astu tat astu astu swaha.
Artinya:
Om Hyang Widhi Wasa,Semoga kami dianugrahi
kesejahteraan, kebahagiaan, dan panjang umur.
II.VII. Mitologi Upacara Mepandes
Sejarah Terjadinya
Potong Gigi:Penggalian fosil – fosil manusia purba yang diketemukan di
Gilimanuk yang diperkirakan berumur sekitar 2000 tahun yang lalu, menunjukkan
sudah dikenalnya sistem penguburan mayat yang terlipat dan pada gigi – gigi
mereka menunjukkan tanda – tanda yang telah diasah. Dengan demikian maka
dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa upacara potong gigi sudah di kenal di
pulau Bali ini sejak 2000 tahun yang lalu.Menurut
G.A Wilken seorang sarjana barat yang terkenal, menyebutkan bahwa pada
bangsa-bangsa prasejarah di daerah kepulauan Polinesia, Asia Tengah dan Asia
Tenggara terdapat suatu kepercayaan pentingnya memotong bagian –bagian tertentu
dari tubuh seperti rambut, gigi, menusuk (melobangi) telinga, tatuage (mencacah
kulit) dan sebagai upacara berkorban kepada nenek moyang. Penyiksaan diri dalam
batas-batas tertentu dianggap sebagi korban dalam agama, antara lain adalah
tapa dan brata.
Demikian
pula upacara-upacara yang sudah merupakan adat agama Hindu di pulau Bali antara
lain ialah: upacara potong rambut pada waktu berumur tiga bulan dianggap
sebagai upacara penyucian, melenyapkan mala (kekotoran) dari rambut yang dibawa
sejak lahir, disertai dengan upacara metusuk kuping yaitu melobangi daun
telinga. Disamping itu upacara tiga bulan ini adalah upacara prubahan status di
mana si bayi mengambil nama (diberi nama secara resmi), berkenalan dengan alam
sekitarnya, mempermaklumkan ke Bale Agung dan permakluman Kepala Desa Adat
sebagi warga desa yang baru. Dibawah ini kita akan bahas satu persatu
aspek-aspek potong gigi ini dengan memakai latar belakang petikan cerita-cerita. Dalam lontar Tutur
Sanghyang Yama ada disebutkan sebagai berikut:
…..mwah yan amandesi
wwang durung ang raja, pada tan kawenang, amalat rare ngaranya, tunggal alanya
ring wwang angrabyaning wwang durung angraja, tan sukrama kna ring jagat megawe
sanggar negaranira Çri Aji.
Artinya : lagi jika memotong gigi orang
yang belum kotor kain, sama sekali tidak dibenarkan, memperkosa bayi
(anak-anak) namanya, sama buruknya dengan orang yang mengawini orang yang belum
kotor kain (belum dewasa) tidak patut hal itu dilakukan di dunia akan
mengakibatkan rusaknya negara sang raja.
Dengan
demikian seseorang baru boleh melaksanakan upacara Potong Gigi setelah mereka
naik dewasa dalam
arti sudah pernah kotor kain.
A. Mitologi Upacara
Mepandes Menurut Sumber Sastra
Secara
mitologi, upacara Potong Gigi atau Mepandes ada disebutkan dalam berbagi sumber
sastra suci, antaranya:
1. Kelahiran Bhatara Kala
Pada suatu ketika, Dewa Siwa bersama Dewi Uma
bersenang-senang sedang melakukan perjalanan, atas hembusan Dewa Bhayu
(angin) yang mana saat itu membuat “kamben” Dewi Uma tersingkap
sehingga paha Dewi Uma keliahtan sehingga menyebabkan nafsu birahi Dewa Siwa
muncul dan kamanya jatuh di samudra yang di makan oleh ikan, yang
melahirkan bhatara kala yang sakti mandraguna yang tidak ada dapat
mengalahkannya. Atas dorongannya ingin tahu kepada siapa orang tuanya maka ia
membuat kekacauan di jagat raya. Anak yang dimaksud naik ke
Sorga Loka mencari ayahnya dan bertemu dengan Dewa Indra. Atas dasar
dari Dewa Siwa, anak yang bernama Dewa Kala itu disuruh mematahkan taringnya
agar dapat bertemu dengan orang tuanya.Makna dari cerita itu adaalah dengan
mematahkan segala bentuk keangkuan dan kesombongn dalam diri sendiri, kita
senantiasa akan dapat bertemu pada jati dri sebagai umat manusia yang beradab
dan berprilaku Subha Karma.
2. Taring Ganesa patah
Pada suatu hari Raksasa Nilarudraka melakukan tapa
yang sangat dahsyat ia memohon kepada kekuatan kepada Dewa Siwa. Karena tapanya
yang sangat kuat maka ia mendapatkn anugrah dari Dewa Siwa. Raksasa
itu menjadi angkuh dan sombong hingga akhirnya para Raksasa menyerang Sorga.
Dewa Indra memohon bantuan kepada Dewa Siwa, dan Dewa Siwa akan membntu paru
Dewa dengan kekuatan Jnananya lahirlah seorang anaknya Ganesa, yang
berkepalakan gajah yang memiliki kekuatan sangat hebat. Pada suatu ketik Dewa
Siwa sedang bersemedi dan ada yang mau bertemu dengan Dewa Siwa maka Ganesa
mencegatnya dan terjadi pertempuran yang mengkibatkan patahnya taring Ganesa.
Setelah Ganesa tumbuh besar, akhirnnya para Dewa meminta bantuan kepada Ganesa
dan akhirnya Ganesa mampu mengalahkan Raksasa Nilarudraka.
Berdasarkan mitilogi Patahnya taring Ganesa, merupakan
simbol filosofi upacara mepandes, patahnya taring Ganesa pada waktu remaja
merupakan simbol kedewasaan atau simbol perubahan status dari masa anak-anak
menjadi remaja. Dan setelah patahnya taring Ganesa mampu mengalahkan Raksasa
Nilarudraka merupakan perubahan pola pikir remaja dari yang tidak tahu menuju
pendewasaan diri dengan mengendalikan atau mengalahkan sifat-sifat Raksasa
dalam diri manusia atau yang sering disebut dengan Sad Ripu.
Kisah yang ditulis dalam Smarandahana (api asmara)
gubahan Mpu Dharmaja pada paruh abad terakhir sangat
dramatis. Berawal tentang ancaman yang melanda kahyangan, berawal
dari Raksasa Nilarudraka yang menyerang sorga. Raksasa itu hanya dapt
dikalahkan oleh putra dari Dewa Siwa maka atas usul seorang
penasehat, Dewa sepakat mengutus Dewa cinta sang hyang samara untuk
menemui Dewa Siwa. Kemudian Dewa Siwa terbangun dari tapanya dan teringat pada
Dewi Uma kelak lahir Ganesa sebagai buah cinta Siwa dengan Uma yang akan mengalahkan
Raksasa Nilarudraka. Dewa Siwa sangat marah ketika mengetahui sang kama yang
telah membuatnya terbangun dari tapanya. Dewa Siwa membunuh Kama. Kemudian
datang Dewa Indra menjelaskan maksud kama mengodanya. Mereka lalu meminta Dewa
Siwa untuk menghidupkan Dewa Kama. Kama dihidukan hanya sukmanya saja.
Mengetahui kabar yang menimpa suaminya Ratih sangat sedih tanpa Kama. Kemudian
Ratih menceburkan diri di atas kobaran api. Wrhaspati menjelaskan bahwa mereka
akan dapat saling bertemuwalau hanya dalam bentuk sukma. Bentuk fisik Kama dan
Ratih menyatu menjadi abu. Dan hingga kapan-pun sukma mereka akan terus
bersatu. Kama akan menjelama pada hati laki-laki dan Ratih akan menjelma pada
hati setiap perempuan.Berdasarkan mitologi Semara-Ratih, dalam upacara Mepandes
(potong gig) Sang Hyang Semara Ratih dilinggihkan atau ditempatkn di Bale
Gading berupa rerajahan Sang Hyang Semara Ratih. Dengan demikian Sang Hyang
Semara Ratih yang disimbolkan dalam upacara mepandes (potong gigi) mampu
memberikan anugrahnya keada para remaja yang tumbuh dewasa agar diberikan jaaln
yang baik dalam mencari jati diri, khususnya dalam hal percintaan dan perilaku
seksualitas remaja.
BAB III
PENUTUP
III.I.
Simpulan
Dapat penulis simpulkan bahwa sastra suci yang
melandasi pelaksanaan upacara mepandes antara lain disebutkan dalam: Lontar
Kalapati, Lontar Kala Tattwa, Lontar Smaradhana. Pelaksanaan upacara mepandes
tujuannya tiada lain untuk mengurangi sifat-siafat Sad Ripu yang ada pada diri manusia. Rangkaian upacara
mepandes (potong gigi). Secara upacara di awali dari pembersihan diri
anak dari pengaruh negatif bhutakala selanjutnya
dilakukan pengekeban dan dilanjutkan dengan merajah, naik kebalai penatahan
turun mengijak peras , muspa bersama dan berakhir dengan mejaya-jaya. Dan
adapun mitologi yang terkait dengan upacara mepades (potong gigi)
yaitu: kelahiran bhatara Kala, patahnya taring Ganesa, Sang Hyang
Smara-Ratih.
III.II. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah yang
disusun ini masih jauh dari sempurna, maka demi penyempuranaan
makala ini kritik dan saran dari para pembaca sangat penulis perlukan dan
kekurangan-kekurang materi yang penulis sampaikan perlu ditinjau
lebih jauh lagi. Semoga makalah penulis ini ada manfaatnya bagi
pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Lontar: Kala Tattwa, Koleksi:
Kantor Pusat Dokumentasi Budaya (pusdok) Denpasar, Bali
PHDI. 1996. “Panca
Yadnya”. Denpasar: Proyek peningkatan sarana dan prasarana kehidupan
beragama.
Swastika Pasek, I
Ketut. 2010. Mepandes (Potong Gigi). Denpasar: CV Kayu Mas Agung
Wiana , I Ketut.
2000. Makna Upacara Yadnya Dalam Agama Hindu I. Surabaya: Paramita
Terima kasih informasinya min ... sangat berguna..
BalasHapusAyam Birma Asli