Senin, 03 Oktober 2016

MEPANDES / METATAH ( POTONG GIGI )

MEPANDES / METATAH
( POTONG GIGI )


logo+ihdn


Oleh :
I PUTU SUMARTANA
KETUT BUDIARTA
KETUT ARTANA MULIADI
IDA AYU GEDE SHINTA VINA DEWI
ANAK AGUNG NOVI PRADNYAWATI






FAKULTAS BRAHMA WIDYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2015

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,
            Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas asung kerta wara nugraha-Nyalah penulis dapat menyelesaikan makalah ini untuku memenuhi tugas mata kuliah Pancasila. Adapun judul dari makalah ini adalah “MEPANDES / METATAH”.
            Makalah ini tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Sehubungan dengan itu, izinkanlah penulis menyampaikan penghargaan dan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
            Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya dan jauh dari sempurna, untuk itu penulis menerima segala bentuk masukan , sara dan kritikannya demi penyempurnaan makalah ini dan makalah berikutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya generasi muda yang sekarang maupun mendatang.
Om Shantih, Shantih, Shantih, Om.

Denpasar,    Januari  2015
Penulis

 

DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................................................... i
Daftar isi................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
I.I.    Latar Belakang................................................................................. 1
I.II.   Rumusan Masalah............................................................................ 3
I.III. Tujuan.............................................................................................. 3
I.IV. Manfaat............................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 4
II.I.        Pengertian dan Makna Upacara Mepandes...................................... 4
II.II.      Tujuan Pelaksanaan Mepandes........................................................ 7
II.III.     Rangkaian Upacara Mepandes......................................................... 8
II.IV.     Lambang Dan Makna Terkandung Dalam Unsur Upacara.............. 14
II.V.      Upacara Mepandes Untuk Sawa...................................................... 14
II.VI.     Beberapa Mantra Dalam Upacara Mepandes................................... 15
II.VI.     Mitologi Upacara Mepandes............................................................ 16

BAB III PENUTUP............................................................................................. 21
SIMPULAN...................................................................................................21
SARAN..........................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 22

BAB I
PENDAHULUAN

I.I.  Latar Belakang
Upacara adalah lapisan paling luar dari Agama, karena upacara merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu kesatauan agama secara utuh. Secara etimologi kata upacara berasal dari kata Sansekerta yaitu “Upa” (dekat) dan “Cara” (jalan). Jadi Upacara berarti jalan untuk mendekatkan diri / jalan untuk melaksanakan upacara dalam upaya untuk menghubungkan diri dengan Hyang Widhi / Tuhan Yang Maha Esa, yang dilakukan dengan sungguh-sungguh atas dasar ketulus ikhlasan. Tiga aspek yang menjadi dasar pelaksanaan upacara yaitu 3 kerangka Dasar Agama Hindu adalah, Tattwa (Filsafat), Susila (Etika), Upakara (Upacara). Upacara Yadnya merupakan koraban suci yang tulus iklas serta langkah yang diyakini sebagai kegiatan beragama Hindu yang amat penting. Yadnya juga merupakan perputaran kehidupan yang dalam Bhagawad-Gita disebutkan Cakra Yadnya. Apa bila cakra Yadnya ini tidak berpur maka kehidupan ini akan mengalami kehancuran.
Adapun bagian-bagian dari Yadnya yaitu: Dewa Yadnya yaitu: Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, dan Manusa Yadnya. Dimasing-masing Yadnya yang diselenggarakan sudah barang tentu upakara atau bantennya berbeda-beda sesuai dengan Yadnya yang diseleggarakan.
Mepandes (potong gigi) merupaan salah satu contoh upacara manusa yadnya. Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang upacara Mepandes, karena  upacara ini perlu diketahui. Karena setiap yadnya memang saranannya banten namun banten yang digunakan itu tidak sama sesuia dengan jenis upacara yang dilaksankan.Salah satu yang harus dilalui adalah Upacara Potong Gigi atau Metatah / Mesangih dalam Bahasa Bali. Upacara Metatah merupakan salah satu ritual yang terpenting bagi setiap individu orang Bali yang menganut agama Hindu Bali. Rupanya dari kata masangih, yakni mengkilapkan gigi yang telah diratakan, muncul istilah mapandes, sebagai bentuk kata halus (singgih) dari kata masangih tersebut.Bila kita mengkaji lebih jauh, upacāra Mapandes dengan berbagai istilah atau nama seperti tersebut di atas, merupakan upacāra Śarīra Saṁskara, yakni menyucikan diri pribadi seseorang, guna dapat lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur. Adapun dasar yang melatar belakangi manusia bhakti dan mendekatkan diri kehadapan Tuhannya ada disebutkan pada kitab-kitab suci.
Saha yajnah prajah srstva
Puruvaca prajapatih,
Anena prasavisyadhyam
Esa vo stv ista kma dhuk.   (Bhagavadgita III.10)
Artinya:Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan, Tuhan setelah menciptakan manusia melalui Yadnya, berkata; dengan (cara) ini engkau akan berkembang, sebagimana sapi perah yang memenuhi keinginanmu (sendiri).

Devan bhavayatanena
Te deva bhavayantu vah
Parasparam bhavayantah
Sreyah param avapsyatha. (Bhagavadgita III.11)
Artinya:Adanya para Dewa adalah karena ini, semoga mereka menjadikan engkau demikian, dengan saling member engkau akan memperoleh kebajikan paling utama.
Abdir gatrani suddhyanti
Manah satyena suddhyanti,
Vidyatapobhyam bhutatma
Buddhir jnanena suddhyanti. (Menawa Dharmasastra Bab V.109)
Artinya:Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia dengan pelajaran suci dan tapa bratha, kecerdasan dengan pengetahuan benar.
Berdasarkan pengertian upacāra Mapandes seperti tersebut di atas, dapatlah dipahami bahwa upacāra ini merupakan upacāra Vidhi-vidhana yang sangat penting bagi kehidupan umat Hindu, yakni mengentaskan segala jenis kekotoran dalam diri pribadi, melenyapkan sifat-sifat angkara murka, Sadripu (enam musuh dalam diri pribadi manusia) dan sifat-sifat keraksasaan atau Asuri-Sampad lainnya.

I.II.           Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dan makna upacara mepandes  (potong gigi)?
2. Apa tujuan pelaksanaan  upacara mepandes (potong gigi)?
3. Bagaimana rangkaian upacara mepandes (potong gigi)?
4. Bagaimana metologi upacara mepandes (potong gigi)?

I.III.        Tujuan Penulisan
Setiap penulisan tentunnya memiliki tujuan, adapun tujuan umum yang ingin dicapai, yaitu dengan mempelajari Manusa Yadnya khususnya upacara Mepandes (Potong Gigi), sangat berguna nantinya di imfelemntasikan dalam kehidupan di masyrakat.

I.IV.        Tujuan Khusus
1. Ingin mengetaui pengertian dan makna upacara mepandes (potong gigi).
2. Ingin mengetaui tujuan pelaksanaan  upacara mepandes (potong gigi).
3. Ingin mengetaui rangkaian upacara mepandes (potong gigi).
4. Ingin mengetaui metologi upacara mepandes (potong gigi).







BAB II
PEMBAHASAN

II.I.           Pengertian dan Makna Upacara Mepandes
Adapun sastra suci yang melandasi pelaksanaan upacara mepandes antara lain disebutkan dalam:
a.       Lontar Kalapati
b.      Lontar Kala Tattwa
c.       Lontar Smaradhana
Dalam Lontar  kalapati disebutkan bahwa potong gigi sebagai tanda perubahan status seseorang menjadi manusia sejati yaitu manusia yang berbudi dan suci sehingga kelak di kemudian hari bila meniggal dunia sang roh dapat bertemu dengan para leluhur di sorga Loka. Lontar Kala tattwa menyebutkan bahwa Bathara Kala sebagai putra Dewa Siwa dengan Dewi Uma tidak bisa bertemu dengan ayahnya di sorga sebelum taringnya dipotong.Oleh karena itu, manusia hendaknya menuruti jejak Bathara kala agar rohnya dapat bertemu dengan roh leluhur di sorga.dalam lontar Semaradhana disebutkan bahwa Bethara Gana sebagai putra Dewa Siwa yang lain dapat mengalahkan raksasa NIlarudraka yang menyerang sorgaloka dengan menggunakan potongan taringnya.

A.      Pengertian Mepandes
Dalam bahasa Bali di sebutkan dengan istilah “Nandes” dengan mendapatkan awalaan “me” yang akhirnya mepandes. Nandes sama artinya dengan tekan atau menekan sehingga menjadi mepandes yaitu: menekan. Bukan hanya menekan akan tetapi dilanjutkan dengan mengasah sehingga menjadi rata dan rapi. Di dalam Lontar Dharma Kahuripan, Ekapratama, dan lontar Puja Kalapati. Sampai kini ada tiga istilah di Bali yang lazimnya digunakan untuk menyebut Upacara Potong Gigi ; “matatah”, “mepandas”, “mesangih”. Kata “ atatah” berarti pahat.
Kata Mesangih adalah bahasa Bali biasa dan Bali halusnya disebut Mepandes.Upacara potong gigi merupakan merupakan salah satu bagian dari upacara Manusa-Yadnya yang patut untuk dilaksanakan oleh umat Hindu. Upacara ini bermakna menghilangkan kotoran diri (nyupat) sehingga menemukan hakekat manusia sejati dan terlepas dari belenggu kegelapan dari pengaruh Sad Ripu dalam diri manusia.Lontar Atmaprasangsa menyebutkan bahwa, apabila tidak melakukan upacara potong gigi maka ronya akan mendapat hukuman dari betara Yamadipati di dalam neraka (Kawah Candragomuka ) yaitu mengigit pangkal bambu petung. Terlaksananya upacara ini merupakan kewajiban orang tua terhadap anaknya, sehingga anaknya menjadi manusia sejati yang di sebut dengan Dharmaning Darma-Rena Ring Putra. 
Maka itulah orang tua di kalangan umat Hindu berusaha semasa hidupnya menunaikan kewajiban terhadap anaknya dengan melaksanakan upacara potong gigi. Guna membalas jasa Orang tuanya maka anak berkewajiban upacara Pitra Yadnya atau Ngaben saat orang tuanya meninggal dunia. Berbakti kepada orang tuanya sesuai ajara Putra Sesana.

B.       Makna upacara mepandes
1.      Adapaun makna yang dikandung dalam upaca mapandes ini adalah: Sebagai simbolis meningkatnya seorang anak menjadi dewasa, yakni manusia yang telah mendapatkan pencerahan, sesuai dengan makna kata dewasa, dari kata devaṣya yang artinya milik dewa atau dewata. Seorang telah dewasa mengandung makna telah memiliki sifat dewata (Daivi sampad) seperti diamanatkan dalam kitab suci Bhagavadgita.
2.      Memenuhi kewajiban orang tua, ibu-bapa, karena telah memperoleh kesempatan untuk beryajna, menumbuh-kembangkan keperibadian seorang anak, sehingga anak tersebut mencapai kedewasaan, mengetahui makna dan hakekat penjelmaan sebagai umat manusia.
3.      Secara spiritual, seseorang yang telah disucikan akan lebih mudah menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur, kelak bila yang bersangkutan meninggal dunia, Atma yang bersangkutan akan bertemu dengan leluhurnya di alam Piṭṛa (Pitraloka).     
4.      Magumi Padangan. Upacara ini disebut juga Masakapan Kapawon dan dilaksanakan di dapur, mengandung makna bahwa tugas pertama seseorang yang sudah dewasa dan siap berumah tangga adalah mengurus masalah dapur (logistik). Seseorang diminta bertanggung jawab untuk kelangsungan hidup keluarga di kemudian hari, melalui permohonan waranugraha dari Sang Hyang Agni (Brahma) yang disimboliskan bersthana di dapur
5.      Ngekeb. Upacara ini dilakukan di meten atau di gedong, mengandung makna pelaksanaan Brata, yakni janji untuk mengendalikan diri dari berbagai dorongan dan godaan nafsu, terutama dorongan negatif yang disimboliskan dengan Sadripu, yakni enam musuh pada diri pribadi manusia berupa loba, emosi, nafsu seks dan sebagainya.
6.      Mabhyakala. Upacara ini dilakukan di halaman rumah, di depan meten atau gedong, mengandung makna membersihkan diri pribadi dari unsur-unsur Bhuta Kala, yakni sifat jahat yang muncul dari dalam maupun karena pengaruh dari luar (lingkungan pergaulan). Upacara ini juga disebut Mabhyakawon yang artinya melenyap kotoran batin dan di India disebut Prayascitta, menyucikan diri pribadi.
7.      Persaksian dan persembahyangan ke Pamarajan. Upacara ini mengandung makna untuk:
8.      Memohon wara nugraha Hyang Guru dan leluhur (kawitan) bahwa pada hari itu keluarga yang bersangkutan menyelenggarakan upacara potong gigi.
9.      Menyembah ibu-bapa, sebagai perwujudan dan kelanjutan tradisi Veda, seorang anak wajib bersujud kepada orang tuanya, karena orang tua juga merupakan perwujudan dewata (matri devobhava, pitridevobhava), juga sebagai wujud bhakti kepada Sang Hyang Uma dan Siva, sebagai ibu-bapa yang tertinggi dan yang sejati.
10.  Ngayab Caru Ayam Putih, simbolis sifat keraksasaan dinetralkan dan berkembangnya sifat-sifat kedewataan.
11.  Memohon Tirtha, sebagai simbolis memohon kesejahtraan, kabahagiaan dan keabadiaan.
12.  Ngrajah gigi, menulis gigi dengan aksara suci simbolis sesungguhnya Hyang Widhilah yang membimbing kehidupan ini melalui ajaran suci yang diturunkan-Nya, sehingga prilaku umat manusia menjadi suci, lahir dan batin.
13.  Pemahatan taring, simbolis Sang Hyang Widhi Siva) yang telah menganugrahkan kelancaran upacara ini seperti simbolik Sang Hyang Siva memotong taring putra-Nya, yakni Bhatara Kala.
Demikianlah sepintas makna yang terkandung dari rangkaian upacara Mapandes, yang tidak lain guna membimbing umat manusia lebih meningkatkan Sraddha dan Bhaktinya kepada Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur.

II.II.        Tujuan Pelaksanaan Mepandes
Adapun tujuan dari upacāra Mapandes dapat dirujuk pada sebuah lontar bernama Puja Kalapati yang mengandung makna penyucian seorang anak saat akil balig menujuke alam dewasa, sehingga dapat memahami hakekat penjelmaannya sebagai manusia. Berdasarkan keterangan dalam lontar Pujakalapati dan juga Ātmaprasangsa, maka upacāra Mapandes mengandung tujuan, sebagai berikut:
1)      Melenyapkan kotoran dan cemar pada diri pribadi seorang anak yang menuju tingkat kedewasaan. Kotoran dan cemar tersebut berupa sifat negatif yang digambarkan sebagai sifat Bhūta, Kāla, Pisaca, Raksasa dan Sadripu(enam musuh dalam diri manusia). Sad ripu meliputi Kama (hawa nafsu), Loba (rakus), Krodha (marah), Mada (mabuk), Moha (bingung), dan Matsarya (iri hati). Maka kewajiban setiap orang tua untuk menasehati anak-anaknya serta memohon kepada Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari pengaruh sad ripu. Makna yang tersirat dari mitologi Kala Pati, kala Tattwa, dan Semaradhana.Dalam pergaulan muda- mudi pun diatur agar tidak melewati batas kesusilaan seperti yang tersirat dari lontar Semaradhana.
2)      Dengan kesucian diri, seseorang dapat lebih mendekatkan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa, para dewata dan leluhur. Singkatnya seseorang akan dapat meningkatkan Śraddhā dan Bhakti kepada-Nya.
3)      Menghindarkan diri dari kepapaan, berupa hukuman neraka dikemudian hari bila mampu meningkatkan kesucian pribadi.
4)      Merupakan kewajiban orang tua (ibu-bapa) yang telah mendapat kesempatan dan kepercayaan untuk menumbuh-kembangkan kepribadian seorang anak. Kewajiban ini merupakan Yajña dalam pengertian yang luas menanamkan pendidikan budhi pekerti, menanamkan nilai-nilai moralitas agama sehingga seseorang anak benar-benar menjadi seorang anak yang suputra/ baik.
Dalam lontar Pujakalapati dinyatakan, seseorang yang tidak melakukan upacāra Mapandes, tidak akan dapat bertemu dengan roh leluhurnya yang telah suci, demikian pula dalam Ātmaprasangsa dinyatakan roh mereka yang tidak melaksanakan upacāra potong gigi mendapat hukuman dari dewa Yāma (Yāmādhipati) berupa tugas untuk menggigit pangkal bambu petung yang keras di alam neraka (Tambragomuka), dan bila kita hubungkan dengan kitab Kālatattwa, Bhatāra Kāla tidak dapat menghadap dewa bila belum keempat gigi seri dan 2 taring rahang bagian atasnya belum dipanggur. Demikian pula dalam kitab Smaradahana, putra Sang Hyang Śiva, yakni Bhatāra Gaṇa, Gaṇeśa atau Gaṇapati belum mampu mengalahkan musuhnya raksasa Nilarudraka, sebelum salah satu taringnya patah.

II.III.     Rangkaian Upacara Mepandes
Upacara ini dapat dijadikan satu dengan upacara meningkat dewasa, dan mapetik, dan penambahan upakaranya tidaklah begitu banyak. Seluruh rangkain upacara yang diawali dengan persiapan, pelaksanaan dan diakhiri dengan pejaya-jaya sebagai penutup. Secara upacara di awali dari pembersihan diri anak  dari pengaruh negatif bhutakala selanjutnya dilakukan pengekeban dan dilanjutkan dengan merajah, naik kebalai penatahan turun mengijak peras , muspa bersama dan berakhir dengan mejaya-jaya.

A.    Persiapan Yang Harus Dilakukan Upacara Mepandes
1.      Persiapakan tempat untuk potong gigi, yang dibuat seperti tempat upacara manusa yadnya, dilengkapi dengan kasur, bantal, tikar bergamar smara-ratih atau dengan alas yang sejenisnya.
2.      Bale Gading : Bale gading ini dibuat dari bambu gading (yang lain) dihiasi dengan bunga-bunga yang berwarna putih dan kuning, serta di dalamnya diisi banten peras, ajuman, daksina, canang buratwangi, canang sari dengan raka-raka : kekiping, pisang mas, nyahnyah gula kelapa dan periyuk/ sangku berisi air serta bunga 11 jenis. Bale gading adalah sebagai tempat Sanghyang Semara-Ratih.
3.      Kelapa gading yang dikasturi, airnya dibuang dan ditulis “Ardanareswari” (gambar Semara Ratih). Kelapa gading ini akan dipakai sebagai tempat “ludah” dan “singgang-gigi” yang sudah dipakai. Setelah upacara, kelapa gading ini dipendam di tempat yang biasa untuk maksud tersebut.
4.      Untuk singgang gigi (pedangal), adalah tiga potong cabang dadap dan tiga potong tebu malem/ tebu ratu. Panjang pedangal ini kira-kira 1cm atau 1 setengah cm.
5.      “Pengilap” yaitu sebuah cincin bermata mirah.
6.      Untuk pengurip-urip, adalah empu kunir (inan kunyit) yang dikupas sampai bersih, dan kapur.
7.      Sebuah bokor yang berisi : kikir, cermin dan pahat. (Biasanya “pengilap” yang tersebut di atas ditaruh pada bokor ini, demikian pula pengurip-urip” nya.
8.      Sebuah tempat sirih lengkap dengan sirih lekesan, tembakau, pinang, dan gambir (di dalam lekesan itu sudah berisi kapur).
9.      Rurub berupa kain yang dipakai menutupi badan pada waktu upacara, diharapkan kain yang dipakai adalh kain baru (sukla), dan sanggih adalaah rurub putih kuning bertulis rerajahan Semara-Ratih.
10.  Banten “tetingkeb” yang akan diinjak waktu turun nanti (dapat diganti dengan segehan agung).
11.  Bokor berisi bunga dan kuwangen, kelengkapan untuk muspa saat baru naik dan akan mulai mepandes.

B.     Persiapan Banten
1.      Banten/upakara yang paling kecilBanten pabyakalaan, prayascita, pengelukatan, dan tataban seadanya.
2.      Banten/upakara yang lebih besar seperti diatas, tetapi tatabannya memakai pulagembal.

C.    Banten untuk  sanggih, sekaa gender, dan kidung
·         Pejati
·         Satu soroh banten suci
·         Peras, Sodan ditambah tipat
·         Canang dan sesari
·         Satu helai kampuh yang telah memakai tepi, biasanya kampuh kuning.
·         Arak, berem, tirta, panasta dan pengasepan.

D.    Tata Cara Pelaksanaan Upacara Mepandes.
Seperti biasa dilakukan upacara mabyakala dan maprayascita, lalu bersembahyang kehadapan Bhatara Surya, dan Sang Hyang Semara Ratih. Acara dilanjutkan dengan upacara Pengekeban, yang selanjutnya orang yang akan diupaacarai naik balai tempt upacara Mepandes (potong gigi). Serta duduk menghadap ke hulu (ke luanan).Sangging yang juga memiliki kekuatan supranatural ini lalu mengeluarkan sebuah cincin merah delima dan menuliskan rajahan"Ongkara". Pimpinan upacara mengambil cincin yang akan dipakai untuk nga- “rajah” pada beberapa tempat yaitu :Pada dahi (antara kedua kening), pada taring sebelah kanan, pada gigi atas, pada gigi bawah, pada lidah bawah, pada dada, pada nabi puser, paha kanan dan kiri.
Penulisan “Rerajahan” tersebut sesuai dengan pilihan pimpinan upacara (Sangging) yang memimpin upacara Metatah tersebut. Setelah itu diperciki “tirtha pesangihan”, kemudian ditidurkan menengadah, ditutupi dengan kain/ rurub dan selanjutnya acara dipimpin oleh “sangging” yaitu orang yang bisa melaksanakan hal tersebut. Tiap kali “pedangal” diganti; Ludah serta pedangal yang sudah dipakai dibuang ke dalam “kelungah” kelapa gading. Bila dianggap sudah cukup rata, lalu diberi pengurip-urip (kunir), kemudian berkumur dengan air cendana, selanjutnya makan sirih (ludahnya ditelan tiga kali), dan sisanya dibuang ke dalam kelapa gading. Sore hari (setelah berganti pakaian) dilaksanakan acara natab/ ngayab dipimpin oleh sulinggih atau orang yang wajar untuk maksud tersebut.
Setelah selasai merajah kemudian dilanjutkan dengan prosesi yang selanjutnya. Diantaranya:
1.      Pendeta atau orang yang terhormat dalam upacara ini minta restu di tempat suci, lalu anak anak atau remaja yang akan melaksanakan potong gigi dipercikan air suci/tirta, setelah itu mereka memohon keselamatan untuk melaksanakan upacara.
2.      Pendeta melakukan potong rambut dan menuliskan lambang lambang suci  dengan tujuan mensucikan diri serta menandai adanya peningkatan status sebagai manusia, untuk meninggalkan masa kanak kanak ke masa remaja.
3.      Anak-anak yang akan di potong giginya naik ke bale tempat pelaksaaan Mepandes dengan terlebih dahulu menginjak sesajen yang telah disediakan sebagai simbol mohon kekuatan kepada Sang Hyang Widhi Wasa.
4.      Setelah pemotongan gigi berlangsung, bekas air kumur kumur  dibuang di dalam buah kelapa gading, ini bertujuan agar tidak mengurangi nilai kebersihan dan kesakralan dalam menjalankan upacara ini.
5.      Lalu dilanjutkan dengan  melakukan penyucian diri oleh pendeta agar dapat menghilangkan bala/kesialan untuk menyongsong kehidupan masa remaja.
6.      Melaksanakan Mapedamel yang bertujuan sebagai simbol restu dari Dewa Semara dan Dewi Ratih agar dalam kehidupan masa remaja dan seterusnya menjadi orang yang bijaksana, dalam mengarungi kehidupan di masa datang. Di saat melakukan upacara ini anak anak mengenakan kain putih dan kuning, memakai benang pawitraberwarna tridatu (merah, putih dan hitam) sebagai simbol pengikat diri terhadap norma agama, kemudian anak yang dipotong giginya mencicipi 6 rasa (pahit, asam, pedas, sepat, asin dan manis) yang mempunyai arti dan makna makna tertentu.
7.      Setelah proses mapedamel dilakukan, dilanjutkan dengan upacara Natab Banten, yang bertujuan memohon anugerah kepada Hyang Widhi agar apa yang menjadi tujuan dapat tercapai.
8.      Setelah proses upacara tersebut dilakukan dilanjutkan dengan Metapak, tujuan adalah memberitahukan kepada anaknya bahwa kewajiban sebagai orang tua dari melahirkan, mengasuh dan membimbing sudah selesai, diharapkan  sang anak kelak setelah upacara ini menjadi orang yang berguna.
Prosesi potong gigi hanya merupakan simbolisasi saja. Gigi yang ada bukan dipotong tetapi diratakan dengan menggunakan kikir. Ada 6 gigi atas yang diratakan, termasuk gigi taring, ke 6 gigi inilah yang melambangkan Sad Ripu.Metatah biasanya juga dijaga ketat oleh beberapa orang anggota keluarga dan juga yang memiliki kekuatan supranatural.Tak jarang pula terdengar kabar orang yang ditatah menjadi sakit, giginya rontok bahkan ada yang sampai meninggal dunia. Oleh karena itu upacara metatah tak pernah dilakukan hingga sang surya berada di puncak langit. Adapun pantangan dalam upacara mepandes yaitu : Ibu-Ibu/Wanita yang sedang hamil tidak dibolehkan melakukan upacara potong gigi/ mepandes. Dasar acuannya: Lontar Catur Cuntaka.
1.      Mepandes adalah suatu upacara yang menyebabkan diri cuntaka.Lamanya cuntaka, saat dia naik ke bale petatahan, selama metatah, dan sampai selesai, diakhiri dengan mabeakala. Setelah mabeakala barulah cuntakanya hilang. Prosesi itu memakan waktu antara 1-2 jam. Walaupun masa cuntaka itu singkat, tetap saja Ibu itu kena cuntaka.
2.      Bayi atau jabang bayi yang ada dalam kandungan adalah roh suci yang patut dihormati, dipuja atas perkenan Sanghyang Widhi yang “mengijinkan” roh itu menjelma kembali menjadi manusia (walaupun masih berupa janin).
Jadi Ibu yang mengandung bayi yang suci, patut dihindarkan dari penyebab-penyebab cuntaka. Tidak hanya potong gigi saja, tetapi juga semua jenis cuntaka, misalnya: ngelayat orang mati, mengunjungi penganten (pawiwahan), memegang orang-orang sakit (sakit gede – lepra, aids dll).Jadi demi keselamatan Ibu dan Bayi, sebaiknya upacara potong gigi itu ditunda sampai bayinya lahir dan sudah berusia lebih dari 3 bulan.Pantangan-pantangan Yang Dihindari :
·         Tidak boleh makan atau minum sekehendaknya selama 3 hari. Makan dan minum panas atau dingin merupakan pantangan yang utama setelah melakukan upacara poyong gigi. Karena apabila makan dan minum yang panas atau dingin maka akan merusak gigi.
·         Tutur kata tidak boleh menjelek-jelekkan orang lain.
·         Sebelum dan sesudah melaksanakan upacara potong gigi tidak boleh meninggalkan rumah sekehendaknya. selama 3 hari.
·         Waktu tidur dan makan di atur oleh orang tua setelah mendapat penjelasan sebelumnya dari pendeta yang memimpin upacara tersebut.
·         Waktu mandipun diatur
·         Tidak diperkenankan membunuh binatang, tidak boleh berkelahi atau mencaci maki orang lain.

II.IV.     Lambang Dan Makna Terkandung Dalam Unsur Upacara
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa ada beberapa perlengkapan upacara yang digunakan yaitu seperangkat sirih pinang, seperangkat piring adat, sebentuk emas, telur ayam, daging kelapa, gula merah, dan daun pacar. Alat perlengkapan ini melambangkan antara lain:
·         Sirih pinang dan piring adat merupakan sesuatu yang harus dimuliakan pada suku bangsa Pamona pada setiap upacara tradisional sebab kedua perangkat alat ini melambangkan kesucian, kemuliaan, dan penghormatan kepada leluhurnya.
·         Telur ayam melambangkan supaya mempunyai keturunan yang banyak seperti ayam.
·         Daging kelapa melambangkan supaya hati mereka lemah lembut seperti daging kelapa tersebut.
·         Gula merah melambangkan supaya mempunyai masa depan yang manis seperti gula. Artinya agar dalam menjalani hidupnya kelak senantiasa mendapat kesenangan dan kedamaian hidup.
·         Daun pacar melambangkan agar mereka kelak mudah mendapat jodoh yang baik.
Bagi seseorang yang belum sempat mengikuti upacāra Mapandes, dan maut telah menjemput, berbagai tanggapan muncul, terhadap keadaan ini, Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat

II.V.        Upacara Mepandes Untuk Sawa
Suatu kenyataan terkadang ada dan terjadi di kehidupan masyarakat adalah belum semapatnya  terlaksana upacara potong gigi pada anak. Atas kejadian ini, jelas sebagai suatu bhakti akan adanya upacara mepandes (potong gigi) tidak tertutup kemungkinan akan terlaksana setelah meninggal dunia (jenazah). Akan tetapi tiada dibenarkan pula potong gigi pada sawa. Upacara mepandes (potong gigi) itu bisa dilakukan untuk sawa (jenazah) hanya saja ketentunanya harus ditaati, yaitu tiada melakukan sebagaimana upacara potong gigi paada manusia hidup yaitu hingga mengasahnya. Akan tetapi cukup hingga mepandes saja dengan selanjutnya dilakukan seolah mengasah (mengoles) hanya saja menggunakan bunga teratai putih yang masih kuncup.

II.VI.     Beberapa Mantra Dalam Upacara Mepandes
·         Mantra Kikir :
OM Sang Perigi Manik, aja sira geger lunga, antinen kakang nira Sri Kanaka teka kekeh pageh, tan katekaning lara wigena, teka awet-awet-awet.
Artinya : Om Hyang Widhi Wasa Semoga alat-alat ini dapat memberikan kekuatan.
·         Mantram Pengurip-urip :
 OM  urip-uriping bhayu,Sabda, idep, teka urip, Ang Ah.
Artinya:
Om Sang Hyang Widhi Wasa Dalam wujud Brahma Maha Sakti, semoga tenaga, ucapan dan pikiran hamba memberikan kekuatan terhadap alat-alat ini.
·         Mantra Lekesan :
OM suruh mara, jambe mara, timiba pwa sira ring lidah, Sang Hyang Bumi Ratih ngaranira, tumiba pwa sira ring hati, Kunci Pepet arannira, katemu-temu delaha, samangkana lawan tembe, metu pwa sira ring wewadonan Sang Hyang Sumarasa arannira, wastu kedep mantranku.
·         Mantra Prayascita dan Bhyakala :
Om Hrim, Srim, Mam, Sam, Warn, Sarwa rogha satru winasa ya hrah phat.
Om Hrim. Srim. Am. Tam. Sam. Bam. Im, sarwa danda mala papa klesa, winasaya hrah, hum, phat.Om Hrim, Srim, Am, Um, Mam, Sarwa papa petaka winasaya hrah, hum phat,Om Siddhir guru shrom, Sarwasat.Om sarwa wighna winasaya, sarwa papa winasaya namah swaha.
Artinya :Om Hyang Widhi Wasa, semoga semua musuh yang berupa penderitaan, kesengsaraan, bencana dan  lain-lain   menjadi   sirna.
·         Mantra Pemotongan Gigi Pertama :
 OM lungha ayu,Teka ayu (3 kali).
·         Mantram Mejaya-jaya :
Om Dirgayur Astu tat astu,Om Subham astu tat astu,Om Sukham bhawantu,Om Purnam bhawantu,Om Sreyam bhawantu,Om Sapta wrddhin astu tat astu astu swaha.
Artinya:
Om Hyang Widhi Wasa,Semoga kami dianugrahi kesejahteraan, kebahagiaan, dan panjang umur.

II.VII.  Mitologi Upacara Mepandes
Sejarah Terjadinya Potong Gigi:Penggalian fosil – fosil manusia purba yang diketemukan di Gilimanuk yang diperkirakan berumur sekitar 2000 tahun yang lalu, menunjukkan sudah dikenalnya sistem penguburan mayat yang terlipat dan pada gigi – gigi mereka menunjukkan tanda – tanda yang telah diasah. Dengan demikian maka dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa upacara potong gigi sudah di kenal di pulau Bali ini sejak 2000 tahun yang lalu.Menurut G.A Wilken seorang sarjana barat yang terkenal, menyebutkan bahwa pada bangsa-bangsa prasejarah di daerah kepulauan Polinesia, Asia Tengah dan Asia Tenggara terdapat suatu kepercayaan pentingnya memotong bagian –bagian tertentu dari tubuh seperti rambut, gigi, menusuk (melobangi) telinga, tatuage (mencacah kulit) dan sebagai upacara berkorban kepada nenek moyang. Penyiksaan diri dalam batas-batas tertentu dianggap sebagi korban dalam agama, antara lain adalah tapa dan brata.
Demikian pula upacara-upacara yang sudah merupakan adat agama Hindu di pulau Bali antara lain ialah: upacara potong rambut pada waktu berumur tiga bulan dianggap sebagai upacara penyucian, melenyapkan mala (kekotoran) dari rambut yang dibawa sejak lahir, disertai dengan upacara metusuk kuping yaitu melobangi daun telinga. Disamping itu upacara tiga bulan ini adalah upacara prubahan status di mana si bayi mengambil nama (diberi nama secara resmi), berkenalan dengan alam sekitarnya, mempermaklumkan ke Bale Agung dan permakluman Kepala Desa Adat sebagi warga desa yang baru. Dibawah ini kita akan bahas satu persatu aspek-aspek potong gigi ini dengan memakai latar belakang  petikan cerita-cerita. Dalam lontar Tutur Sanghyang Yama ada disebutkan sebagai berikut:
…..mwah yan amandesi wwang durung ang raja, pada tan kawenang, amalat rare ngaranya, tunggal alanya ring wwang angrabyaning wwang durung angraja, tan sukrama kna ring jagat megawe sanggar negaranira Çri Aji.
Artinya : lagi jika memotong gigi orang yang belum kotor kain, sama sekali tidak dibenarkan, memperkosa bayi (anak-anak) namanya, sama buruknya dengan orang yang mengawini orang yang belum kotor kain (belum dewasa) tidak patut hal itu dilakukan di dunia akan mengakibatkan rusaknya negara sang raja.
Dengan demikian seseorang baru boleh melaksanakan upacara Potong Gigi setelah mereka naik dewasa  dalam arti sudah pernah kotor kain.

A.      Mitologi Upacara Mepandes Menurut Sumber Sastra
Secara mitologi, upacara Potong Gigi atau Mepandes ada disebutkan dalam berbagi sumber sastra suci, antaranya:

1.      Kelahiran Bhatara Kala
Pada suatu ketika, Dewa Siwa bersama Dewi Uma bersenang-senang sedang melakukan perjalanan, atas hembusan Dewa Bhayu (angin)  yang mana saat itu membuat “kamben” Dewi Uma tersingkap sehingga paha Dewi Uma keliahtan sehingga menyebabkan nafsu birahi Dewa Siwa muncul dan  kamanya jatuh di samudra yang di makan oleh ikan, yang melahirkan bhatara kala yang sakti mandraguna yang tidak ada dapat mengalahkannya. Atas dorongannya ingin tahu kepada siapa orang tuanya maka ia membuat kekacauan di jagat raya. Anak yang dimaksud naik ke Sorga  Loka mencari ayahnya dan bertemu dengan Dewa Indra. Atas dasar dari Dewa Siwa, anak yang bernama Dewa Kala itu disuruh mematahkan taringnya agar dapat bertemu dengan orang tuanya.Makna dari cerita itu adaalah dengan mematahkan segala bentuk keangkuan dan kesombongn dalam diri sendiri, kita senantiasa akan dapat bertemu pada jati dri sebagai umat manusia yang beradab dan berprilaku Subha Karma.

2.      Taring Ganesa patah
Pada suatu hari Raksasa Nilarudraka melakukan tapa yang sangat dahsyat ia memohon kepada kekuatan kepada Dewa Siwa. Karena tapanya yang sangat kuat maka ia mendapatkn anugrah dari Dewa Siwa.  Raksasa itu menjadi angkuh dan sombong hingga akhirnya para Raksasa menyerang Sorga. Dewa Indra memohon bantuan kepada Dewa Siwa, dan Dewa Siwa akan membntu paru Dewa dengan kekuatan Jnananya lahirlah seorang anaknya Ganesa, yang berkepalakan gajah yang memiliki kekuatan sangat hebat. Pada suatu ketik Dewa Siwa sedang bersemedi dan ada yang mau bertemu dengan Dewa Siwa maka Ganesa mencegatnya dan terjadi pertempuran yang mengkibatkan patahnya taring Ganesa. Setelah Ganesa tumbuh besar, akhirnnya para Dewa meminta bantuan kepada Ganesa dan akhirnya Ganesa mampu mengalahkan Raksasa Nilarudraka.
Berdasarkan mitilogi Patahnya taring Ganesa, merupakan simbol filosofi upacara mepandes, patahnya taring Ganesa pada waktu remaja merupakan simbol kedewasaan atau simbol perubahan status dari masa anak-anak menjadi remaja. Dan setelah patahnya taring Ganesa mampu mengalahkan Raksasa Nilarudraka merupakan perubahan pola pikir remaja dari yang tidak tahu menuju pendewasaan diri dengan mengendalikan atau mengalahkan sifat-sifat Raksasa dalam diri manusia atau yang sering disebut dengan Sad Ripu.

Kisah yang ditulis dalam Smarandahana (api asmara) gubahan Mpu Dharmaja pada paruh abad terakhir sangat dramatis.  Berawal tentang ancaman yang melanda kahyangan, berawal dari Raksasa Nilarudraka yang menyerang sorga. Raksasa itu hanya dapt dikalahkan oleh putra dari Dewa Siwa maka atas usul seorang penasehat,  Dewa sepakat mengutus Dewa cinta sang hyang samara untuk menemui Dewa Siwa. Kemudian Dewa Siwa terbangun dari tapanya dan teringat pada Dewi Uma kelak lahir Ganesa sebagai buah cinta Siwa dengan Uma yang akan mengalahkan Raksasa Nilarudraka. Dewa Siwa sangat marah ketika mengetahui sang kama yang telah membuatnya terbangun dari tapanya. Dewa Siwa membunuh Kama. Kemudian datang Dewa Indra menjelaskan maksud kama mengodanya. Mereka lalu meminta Dewa Siwa untuk menghidupkan Dewa Kama. Kama dihidukan hanya sukmanya saja. Mengetahui kabar yang menimpa suaminya Ratih sangat sedih tanpa Kama. Kemudian Ratih menceburkan diri di atas kobaran api. Wrhaspati menjelaskan bahwa mereka akan dapat saling bertemuwalau hanya dalam bentuk sukma. Bentuk fisik Kama dan Ratih menyatu menjadi abu. Dan hingga kapan-pun sukma mereka akan terus bersatu. Kama akan menjelama pada hati laki-laki dan Ratih akan menjelma pada hati setiap perempuan.Berdasarkan mitologi Semara-Ratih, dalam upacara Mepandes (potong gig) Sang Hyang Semara Ratih dilinggihkan atau ditempatkn di Bale Gading berupa rerajahan Sang Hyang Semara Ratih. Dengan demikian Sang Hyang Semara Ratih yang disimbolkan dalam upacara mepandes (potong gigi) mampu memberikan anugrahnya keada para remaja yang tumbuh dewasa agar diberikan jaaln yang baik dalam mencari jati diri, khususnya dalam hal percintaan dan perilaku seksualitas remaja.



BAB III
PENUTUP
III.I.        Simpulan
Dapat penulis simpulkan bahwa sastra suci yang melandasi pelaksanaan upacara mepandes antara lain disebutkan dalam: Lontar Kalapati, Lontar Kala Tattwa, Lontar Smaradhana. Pelaksanaan upacara mepandes tujuannya tiada lain untuk mengurangi sifat-siafat Sad Ripu yang ada pada diri manusia. Rangkaian upacara mepandes (potong gigi). Secara upacara di awali dari pembersihan diri anak  dari pengaruh negatif  bhutakala selanjutnya dilakukan pengekeban dan dilanjutkan dengan merajah, naik kebalai penatahan turun mengijak peras , muspa bersama dan berakhir dengan mejaya-jaya. Dan adapun mitologi yang terkait dengan upacara mepades (potong gigi) yaitu:  kelahiran bhatara Kala, patahnya taring Ganesa, Sang Hyang Smara-Ratih.

III.II.     Saran
Penulis menyadari bahwa makalah yang disusun  ini masih jauh dari sempurna, maka demi penyempuranaan makala ini kritik dan saran dari para pembaca sangat penulis perlukan dan kekurangan-kekurang materi yang penulis sampaikan  perlu ditinjau lebih jauh lagi. Semoga makalah penulis  ini ada manfaatnya bagi pembaca.





DAFTAR PUSTAKA

Lontar: Kala Tattwa, Koleksi: Kantor Pusat Dokumentasi Budaya (pusdok) Denpasar, Bali
PHDI. 1996. “Panca Yadnya”. Denpasar: Proyek peningkatan sarana dan prasarana kehidupan beragama.
Swastika Pasek, I Ketut. 2010. Mepandes (Potong Gigi). Denpasar: CV Kayu Mas Agung
Wiana , I Ketut. 2000. Makna Upacara Yadnya Dalam Agama Hindu I. Surabaya: Paramita


1 komentar: