TUMPEK WAYANG
ACARA AGAMA HINDU II
I KETUT ARTANA MULIADI (14.1.4.5.1.035)
IDA AYU
GEDE SHINTA VINA DEWI (14.1.4.5.1.036)
ANAK AGUNG
NOVI PRADNYAWATI (14.1.4.5.1.037)
JURUSAN TEOLOGI
FAKULTAS
BRAHMAWIDYA
INSTITUT
HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
2015
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,
Puji syukur penulis sampaikan untuk
Ida Sang Hyang Whidi Wasa atas asungkerta waranugrahaNya makalah ini dapat
terselesaikan sesuai harapan. Makalah dengan judul “Tumpek Wayang” telah
mendapatkan banyak campur tangan dari berbagai pihak untuk itu penulis ucapkan
terima kasih kepada:
1. I Made Dwitayasa, S.Ag., M.Fil.H,
dosen Acara Agama Hindu II yang telah membimbing dalam penulisan ini.
2. Teman sejawat yang telah banyak
membantu penulisan ini. Serta merta memberikan pengetahuan untuk pembuatan
tugas ini.
3. Keluarga yang serta merta memberikan
dorongan dalam penulisan ini.
Penulisan ini mengambil sumber dari
internet, serta kliping koran yang kemudian disimpulkan bagaimana perbedaan
dari ragam bahasa tersebut. Kendati demikian penulisan ini belum bisa dikatakan
sempurna, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
kelansungan penulisan ini. Penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila ada
penulisan yang menyinggung.
Om Santih Santih Santih Om
Denpasar, Oktober 2015
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1
Latar
Belakang.............................................................................. 1
1.2
Rumusan
Masalah.......................................................................... 1
1.3
Tujuan............................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................ 3
2.1.
Wuku
Wayang............................................................................... 3
2.2.
Kala Paksa..................................................................................... 3
2.3.
Tumpek Wayang............................................................................ 6
BAB III PENUTUP......................................................................................... 9
3.1.
Simpulan........................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rerainan merupakan istilah dari
perayaan pemuja kepada Bhatara bagi umat Hindu khususnya di Bali. Ada rahinan
menurut wuku atau pawukon dan menurut sasih. Rerahinan menurut sasih merupakan
rerahinan yang jatuhnya setahun sekali menurut sasih yang ada di bali,
sedangkan Rerahinan menurut pawukon jatuh pada wuku-wuku tertentu, yang dimana
terdapat 30 wuku dalam sistem kalender Bali.
Disetiap wuku memiliki hari yang
unik, khususnya untuk melakukan pemujaan. Jika rerahinan itu jatuh pada hari
Sabtu maka sudah pasti disebut dengan Tumpek. Salah satu rahina tumpek adalah tumpek wayang.
Dimana konon tumpek wayang itu dianggap seram, karena umat Hindu di Bali yakin
pada rahina itu Bhatara Kala turun ke Bumi mencari mangsanya yaitu orang-orang
yang lahir pada hari tumpek wayang tersebut.
Hal ini memberikan ketertarikan
lebih mendalam bagaimana sebenarnya tumpek tersebut. Tatacara maupun upakaranya
memiliki khasnya sendiri. Bahkan diadakan pewayangan untuk rahina ini. Namun
yang lebih penting adalah rentetan dalam pelaksanaan Tumpek wayang itu sendiri.
Dimana sebelum rahina Tumpek Wayang dilaksanakan ada yang dinamakan Kala Paksa.
Dimana mereka memiliki keterkaitan dalam pelaksanaannya.
1.2. Rumusan Masalah
Berikut rumusan masalah makalah
ini:
1. Apa itu Wuku Wayang?
2. Bagaimana dimaksud dengan Kala Paksa?
3. Bagaimana dimaksud dengan Tumpek
Wayang?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini
adalah sebagai berikut:
1.
Memahami tentang wuku wayang
2.
Memahami rahina Kala Paksa
3.
Memahami rahina Tumpek Wayang
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Wuku Wayang
Wuku wayang merupakan wuku dalam
urutan ke dua puluh tujuh, setelah wuku ugu dan sebelum wuku klawu. Wuku wayang
terdengar tenget, ditakuti oleh umat
hindu. Ketakutan pada wuku ini dikarenakan hari-hari dari wuku wayang tersebut
memiliki keletehan. Hari yang leteh yang dimaksud adalah ketidak
sucinya pada hari tersebut, hari yang kotor atau cemer.
Dalam lontar Sundarigama dijelaskan
sebagai berikut:
“Wayang, samana
ika patemun Sang Hyang Wayang lawan Sang Sinta, ngaran wara cemer, tan wenang
sujadma hareresik, halelenga, hajengkas, mwang hasuri tekaning Sukrania,
phalania, punah gunaning hawak”
Terjemahkan:
Wuku wayang,
merupakan pertemuan antara Sang Hyang Wayang dengan Sang Sinta, karena itu
membuat kotor atau cemer, maka dalam wuku wayang ini tidak dibenarkan melakukan
penyucian diri atau samskara, berhias-hias, bersisir, terutama pada hari Sukra
(Jumat), sebab wibawa diri bisa ternoda.
2.2. Kala Paksa
Kala paksa merupakan hari sebelum
tumpek wayang, yakni hari jumat wage wuku wayang. Umat Hindu meyakini bahwa
hari ini merupakan hari dimana titik puncak dari kekotoran dunia atau rahina
cemer. Pada hari kala paksa ini tidak boleh melakukan keramas dan bagi para
wikhu tidak boleh melakukan puja.
(dalam Acara Agama:hal 96) beliau
mengadakan pendekatan terhadap Tattwa Samkya:
-
Wuku wayang memiliki urip = 4
-
Hari jumat memiliki urip = 6
-
Wage memiliki urip = 4
Kalau dijumlahkan akan menjadi 14 kemudian 1+4 maka menjadi 5. Ini
dikaitkan dengan kekuatan Panca Maha Bhuta , karena angka 5 tersebut merupakan
simbol dari kekuatan Panca Maha Bhuta. Hari ini dikatakan titik dina leteh karena merupakan hari yang
dikuasi oleh kekuatan Panca Maha Bhuta.
Dalam lontar Sundarigama dijelaskan:
“Sukra Wage Kalapaksa ngaran wekata
mecampur, matangian ikang wwang sayogya maseselat, dening apuk hamemer ring
bulun hatinia mwang sasuwuk rwaning pandhini tekeng umah-umah paturon, enjang
enjingnia ikang sasuwuk pandan, kumalakna winadahan sidi dulurin pasegehan,
bwangen ring dengen saha asep, sesapan sang ngutang wigna”
Maksudnya:
Hari Jumat Wage
Wuku Wayang dinamakan hari Kala Paksa, hari yang tidak baik, semestinya manusia
membuat tanda dengan kapur yang dilekatkan pada hulu hati. Juga patut
mengadakan sasuwuk (penghambat kala) dengan daun berduri berupa pandan berduri
(diolesi kapur dengan bentuk tanda tambah) lalu dipasang dibawah tempat tidur
dan di tempat keluar masuknya rumah. Keesokan harinya semua sasuwuk panda itu
dikumpulkan lalu ditempatkan pada sebuah sidi disertai segehan, kemudian
dibuang di depan halaman rumah tempat keluar masuknya pekarangan, dianteb
dengan sesapa atau ucapan untuk membuang kecemaran.
Kala Paksa ini memakai beberapa simbol dalam pelaksanaan upacarnya
dijelaskan dalam Acara Agama (sudarsana : hal. 99-100) sebagai berikut:
-
Mempergunakan sarana daun pandan berduri, adalah
sebagai simbol kekuatan Kala, serta dioles pada kapur sirih, sebagai simbol
kekuatan Dharma, mengoles dengan bentuk Tampak Dara, sebagai simbol kekuatan
dari Swastika untuk mengembalikan kekuatan “Adharma” menuju “Dharma”.
-
Daun pandan tersebut dikumpulkan menjadi satu,
kemudian diikat dengan benang Tri Datu, dialas dengan sebuah sidi adalah sebagai
simbol, permohonan kehadapan Sang Hyang Widhi, agar dianugrahkan kesidhian
(sebuah sidi), Sabda, Bayu, Idep (benang Tri Datu) dan memiliki kekuatan “Religiomagis”, dalam hal mengembali
kekuatan Kala tersebut, kesumbernya semula, agar menjadi kekuatan Kala Hita,
untuk bisa memberikan kesejahteraan Alam Semesta beserta isi Alamnya.
-
Tujuan membuang sesuwuk tersebut ke Lebuh,
adalah mengandung makna, bahwa Lebuh adalah sebagai simbol “Nistaning Mandhala”, serta menjadi
sumbol dari “Sapta Ptala” karena sorganya Kala adalah Sapta Petala.
Menurut (dalam
Aara Agama : hal. 100-102) tata upacara dalam hari Kala Paksa adalah sebagai
berikut:
-
Upakara pada hari Kala Paksa
-
Upakara Munggah di Kemulan
Hanya sebuah pejati
-
Sarana Sesuwuk
·
Daun pandan berduri, diptong-potong yang
panjangnya 5 cm, dioles dengan kapur sirih berbentuk Tampak Dara, yang
jumlahnya tergantung dari banyaknya bagunan suci dan rumah.
·
Daun pandan tersebut dialas dengan sebuah sidi,
serta diisi juga sebuah takir berisi kapur sirihm dan benang Tri Datu sepajang
dua jengkal, berisi canang sari.
·
Di dalam sidi diisi sebuah takir lagi berisi Tri
Ketuka (mesui, kesuna, jangu) yang telah digerus.
Tatacara
pelaksanaannnya:
1.
Pada hari Kala Paksa umat pada pagi harinya
datang ke pamerajan mengaturkan pejati, memohon agar Sang Hyang Siwa Guru
memberikan anugrah kekuatan untuk menetralisir kekuatan Kala.
2.
Memohon tirtha kepada Hyang Guru, kemudian
tirtha tersebut dipercikan ke sesuwuk.
3.
Mengoleskan kapur sirih ke ulu hati berbetuk
tampak dara.
4.
Memasang sesuwuk pada pelinggih, bangunan rumah,
bada bangunan lainnya dalam area rumah umat.
2.3. Tumpek Wayang
Hari suci tumpek wayang datang
dalam enam bulan sekali, yakni pada Sabtu Kliwon Wuku Wayang. Tumpek Wayang
memiliki ciri khas tersendiri dari tumpek-tumpek lainya, jika dipandang dari
tata pelaksanaannya serta mitologi yang terdapat didalamnya. Umat Hindu di Bali
percaya bahwa Tumpek Wayang merupakan turunnya Bhatara Kala ke dunia mencari
orang yang lahir pada hari tumpek wayang tersebut. Dalam Lontar Sapuleger siapa
yang lahir atau hamil pada wuku Wayang, maka akan ditadah oleh Bhatara Kala.
Makadari itulah disarankan agar melakukan pengelukatan dan penebusan otonnya
dengan Tirta Wayang Sapuleger.
Dalam Sundarigama mengatakan “saniscara keliwon, pujawali Bhatara Iswara,
Pangastawania Sarwa tetabuhan gong, gambang, gender, salwiring pahimpun himyan.
Widhi wedhaninia : Suci, Peras, ajengan, iwaknia itik putih, sedah wohan,
canang merakam pasucen, kayeng legim prakrtining manusa kayaning wewayangan
Sang Hyang Suksma, pangastiti raga sarira, sesayut tumpeng agung sasiki,
penyeneng, mapan sarira juga wayaning ringgit, Sang Hyang Iswara pinaka dalang,
prakrtinia yatika minaka panguntap, inupah-upah, udatan harep sira hawawalen,
samangkana maka jatinia, haywa ikang wwang tan astiti tri wirajnyana papa
temahnia”
Sehingga hari tumpek wayang ini
merupakan pemujaan kehadapan Ida Sang Hyang Whidi dalam manifestasi sebagai
Bhatara Iswara. Dengan menggunakan segara bunyi-bunyian seperti gong, gambang,
gender, dan unen-unen.
Suhardana (dalam Sundarigama :
hal.42) badan wadah manusia ini ibarat wayangnya, sedangkan dalangnya adalah
Ida Sang Hyang Whidi Wasa. Tingkah laku manusia ini seperti tarian yang
tipertunjukkanNya. Karena itu janganlah tidak mau melakukan pemujaan kepada Hyang
Tri Wiradnyana (salah satu sebutan Sang Hyang Tri Purusa: Brahma, Wisnu, Siwa)
sebab jika dilanggar nerakalah jiwanya.
Dalam Acara Agama (sudarsana : Hal.
102) dijelaskan upakara serta tatacara dalam pelaksanaan hari tumpek wayang
sebagai berikut:
·
Upakara munggah di kemulan Rong Tengah
-
Banten pejati asoroh
-
Canang pasucian
-
Upakaran yang munggah pada kelunan rong kanan
dan kiri cukum dengan banten soda saja.
·
Upakara Ayaban
-
Banten ayaban senistane tumpeng 5 bungkul
-
Sesayut tumpeng agung
-
Buah-buahan satu tamas
-
Canang pesucian, penyeneng
Kalau memiliki kesenian wayang upakaranya ditambah
dengan:
-
Banten pejati, suci alit asoroh
-
Rayunan pemijian warnanya brumbun, lengkap
dengan rerasmen, meulam olahan ayam brumbun.
-
Banten prayascita, bayekawonan
·
Tatacara pelaksanaannya
Menjelang pajar, umat Hindu sudah mengambil sesuwuk
yang dipasang pada hari kemarin, serta dikumpulkan menjadi satu, diikat dengan
benang tri datu, kemudian dihaturkan dilebuh, disertai dengan segehan seliwah
satu tanding, api dakep atau asep, kemudian ayabang, perciki dengan tirtha,
tetabuhan arah berem, dan semburkan dengan mesui kesuna jangu.
Kemudian umat Hindu menata upakaranya, dan sang
penganteb menyiapkan diri.
Selanjutnya sang penganteb mengucapkan mantra
pengastawa antara lain:
-
Kehadapan Sang Hyang Siwa Raditya
-
Kehadapan Bhatara Guru
-
Kehadapan Sang Hyang Maheswara
Untuk pelaksanaan selanjutnya sama dengan pelaksanaan hari
tumpek lainnya.
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Beberapa simpulan yang penulis
dapat sampaikan sebagai berikut:
1.
Wuku Wayang adalah wuku yang cemer maka perlu
adanya penyomia dalam melewati wuku tersebut. Hal ini dilakukan dengan rahina
Tumpek wayang.
2.
Kala Paksa merupakan rentetan rahina tumpek
wayang. Dimana rahina ini merupakan puncaknya leteh atau cemer. Sehingga perlu
adanya upacara untuk menghilangkan leteh tersebut.
3.
Tumpek Wayang merupakan puncaknya, dimana
diharapkan dengan pelaksanaan tatacara dan upakara rahina tumpek wayang mampu
membalikkan Adharma menuju Dharma.
DAFTAR PUSTAKA
Suhardana, Drs. K.M. Sundarigama
Sumber Sastra Rerahinan Hindu, seperti Galungan, Kuningan, Purnama, Tilem, dan
lain-lain. Surabaya: Paramita. 2010.
Sudarsana, Drs. I.B. Putu.
Acara Agama. Denpasar : Yayasan Dharma Acarya. 2003
matur suksmaa artikelnya yaa mass :)
BalasHapusKunjungi juga artikel kami Tajen ayam / sabung ayam internasional .. klik aja link di bawah ini..
https://pemainayam.net/s128-situs-laga-sabung-ayam-online-tersukses-di-dunia/
Link Sabung Ayam